Selasa, 15 Desember 2009

Pro dan Kontra Pertambangan Batubara

Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%).

Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10 Mt (hanya 9% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka. Bandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, serta PT Arutmin yang dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang sama. Terlihat ironis bukan? Perusahaan penambangan batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.

Operasi penambangan batubara seringkali dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan. Penambangan batubara diperkirakan menyebabkan kerusakan pada kurang lebih 70 ribu hektar tanah. Pada beberapa area, limbah cair dibuang pada sungai terdekat yang pada akhirnya mencemari sumber air warga sekitar. Dampak lingkungan serta permintaan akan kontribusi perusahaan pertambangan yang lebih besar kepada perkembangan masyarakat telah menyebabkan munculnya permintaan akan ditutupnya operasi penambangan batubara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan oleh operasi penambangan batubara adalah dengan lebih memperketat regulasi yang berkaitan dengan penambangan batubara, disinilah peran besar pemerintah. Pemerintah merespon permasalahan ini dengan memberikan komitmen bahwa operasi penambangan batubara akan merujuk pada peraturan pemerintah mengenai keselamatan lingkungan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 diterbitkan PP no 18 yang mengatur mengenai tata cara pemrosesan limbah berbahaya dan beracun. Peraturan ini mengharuskan perusahaan pertambangan untuk memproses limbah yang dihasilkan hingga mencapai derajat kebersihan yang sangat tinggi dengan standar kemurnian air yang 5 kali lebih ketat dibandingkan Amerika Serikat maupun Kanada. Akan tetapi, penerapan regulasi ini pada akhirnya ditunda karena pemerintah mengevaluasi ulang kemampuan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan di Indonesia dan ternyata dibutuhkan penyesuaian. Belum lagi adanya penambangan batubara ilegal. Para penambang ilegal mengabaikan ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan serta menjual batubara dengan harga yang lebih rendah. Pemerintah diharapkan dapat mengambil sikap dan menuntut para penambang ilegal ini.

Pemerintah sendiri memiliki ketertarikan yang besar dalam mengembangkan teknologi pemanfaatan batubara untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh batubara. Usaha untuk mengembangkan Clean Coal Technology (CCT) telah memasukkan kerjasama dengan pihak asing untuk mempelajari efek-efek yang mungkin muncul dari penggunaan batubara dan untuk mencari cara baru agar pembangkit listrik yang berbasis pembakaran batubara dapat memenuhi ketentuan lingkungandari segi emisi. Ini suatu itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah mengingat permasalahan yang menyangkut emisi yang dihasilkan oleh batubara dapat mengurangi visibilitas digunakannya batubara sebagai sumber energi.

Masalah sumber energi pun sedang menjadi fokus utama pemerintah berkaitan dengan naiknya harga minyak bumi. Pada dasarnya, cadangan batubara Indonesia memang jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi maupun gas alam sehingga pemerintah kini mulai melihat batubara sebagai sumber energi alternatif yang murah. Batubara selama ini telah digunakan sebagai bahan bakar pada pabrik semen dan pabrik baja, apa salahnya jika batubara digunakan untuk membangkitkan listrik? Apabila hal ini dapat dilakukan, subsidi pemerintah untuk BBM dapat berkurang (saat ini subsidi memang tidak mencukupi akibat kenaikan harga minyak bumi dan peningkatan konsumsi BBM). Dalam 3 tahun mendatang diharapkan telah berdiri PLTU Batubara dengan kapasitas daya listrik yang dapat dihasilkan sebesar 10000 MW.

Tampaknya untuk mewujudkan hal itu, pemerintah dan industri pertambangan batubara harus bekerja lebih keras. Dengan perkiraan heating value batubara Indonesia yang berada pada kisaran 5000 sampai 7000 kal/kg, berapa banyak batubara yang harus diproduksi untuk menghasilkan listrik 10000 MW? Apakah perusahaan pertambangan di Indonesia dapat menemukan cara untuk menambang batubara tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan?

Tampaknya jawaban pertanyaan di atas adalah TIDAK. Atau mungkin BELUM. Tanah yang dikeruk, polusi yang disebabkannya, serta bekas yang ditinggalkannya masih akan menjadi masalah lingkungan di kemudian hari. Mungkin saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kinerja unit-unit penanganan limbah sekaligus melakukan transfer teknologi terkait dengan keterbatasan yang kita miliki dalam teknologi penambangan, mengurangi penambang-penambang ilegal, dan secara bertahap melakukan rehabilitasi lahan pertambangan yang telah ditinggalkan. MENGAPA? Karena lebih tidak mungkin menghentikan penambangan batubara yang saat ini diharapkan bisa menjadi penyelamat bagi krisis energi yang melanda Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar